Minggu, 27 Maret 2011

Jejak Missionaris Jerman di Manokwari

Sebuah pulau yang terletak di teluk Doreh, selatan Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat menjadi sebuah titik penting penyebaran agama Kristen di Papua. Untuk mengetahui jejak agama Kristen yang ditinggalkan dua misionaris Jerman ini, Anda tinggal menuju Pulau Mansinam.

Di pulau seluas 410,97 hektare ini, sekitar 154 tahun silam, tepatnya 5 Februari 1855, dua orang pengabar Injil (misionaris) asal Jerman, C.W. Ottow dan Johann Gottlob Geissler, menginjakkan kaki untuk kali pertama di Pulau Mansinam.

Kedua misionaris tersebut tiba di Pulau Mansinam, setelah melalui perjalanan yang sangat panjang. Dengan menggunakan kapal Abel Tasman, mereka mengarungi samudera melintasi Tanjung Harapan, Batavia, Makasar, Ternate, dan akhirnya tiba di Pulau Mansinam pada 1855.

Sejak kedatangan kedua orang tersebut, Pulau Mansinam menjadi titik penting bagi pengabaran Injil di Tanah Papua. Di pulau inilah, untuk pertama kalinya orang Papua menganut agama Kristen.

Sisa peninggalan kedua misionaris tersebut yang masih bisa Anda lihat adalah gereja pertama di Tanah Papua, yakni Gereja Pengharapan (Krek der Hopen). Gereja yang dibangun pada 1864 ini hingga sekarang masih dipertahankan keaslian arsitekturnya.

Begitu memasuki Pulau Mansinam, Anda akan disambut dengan tugu peringatan berupa prasasti salib dengan ketinggian beberapa meter. Selain prasasti salib, masih banyak sisa peninggalan penyebaran Kristen lainnya seperti asrama dan sumur tua yang dibuat oleh Ottow dan Geissler. Air dari sumur tua ini, kerap digunakan untuk membaptis.

Tidak hanya menjadi titik awal penyebaran agama Kristen, Pulau Mansinam juga menjadi awal mula masuknya pendidikan formal di Tanah Papua. Kehadiran C.W. Ottow bersama istrinya, membuat Papua memiliki sekolah putri untuk pertama kalinya pada 1857.

Di samping banyaknya jejak peninggalan sejarah, Pulau Mansinam juga merupakan pulau yang sangat menarik untuk dijadikan tempat wisata alam. Di pulau ini, Anda dapat melakukan kegiatan berenang atau berperahu. Jika ingin yang lebih menantang, Anda dapat melakukan snorkeling.

Akses menuju Pulau Mansinam dari Kabupaten Manokwari bisa melalui Pantai Kwawi. Dari pantai ini, penyeberangan menuju Pulau Mansinam menggunakan perahu tradisional ataupun long boat. Untuk penyeberangan yang memakan waktu sekitar 10-15 menit ini, akan dikenakan biaya sebesar Rp3.000-Rp5.000 per orang (Maret 2009).

Bagi Anda yang merasa tidak cukup untuk mengelilingi Pulau Mansinam dalam satu hari, tidak perlu khawatir. Di pulau ini, terdapat hotel yang nyaman dengan pemandangan menghadap pantai.

Penyebaran Agama Kristen ke Suku Batak

Topografi dan alam Tapanuli yang subur, telah menarik orang-orang Melayu Tua (Proto Melayu) untuk bermigrasi ke wilayah Danau Toba sekitar 4.000 - 7.000 tahun lalu. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang-orang Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke Sumatera dan Filipina sekitar 2.500 tahun lalu, dan kemungkinan orang Batak termasuk ke dalam rombongan ini. Selama abad ke-13, orang Batak melakukan hubungan dengan Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau yang mana hal ini telah menginspirasikan pengembangan Aksara Batak.

Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kamper yang diusahakan oleh petani-petani Batak di pedalaman. Produksi kamper dari tanah Batak berkualitas cukup baik, sehingga kamper menjadi komoditi utama pertanian orang Batak, disamping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kamper banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal.

Masuknya Islam

Dalam kunjungannya pada tahun 1292, Marcopolo melaporkan bahwa masyarakat Batak sebagai orang-orang "liar yang musyrik" dan tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama dari luar. Meskipun Ibnu battutah, mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan kawin-mawin dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatakan pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak. Pada masa Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola. Namun penyerangan Paderi atas wilayah Toba, tidak dapat mengislamkan masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mereka menganut agama Protestan. Kerajaan Aceh di utara, juga banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo, Pakpak, dan Dairi.

Misionaris Kristen

Pada tahun 1824, dua misionaris Baptist asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan kaki dari Sibolga menuju pedalaman Batak. Setelah tiga hari berjalan, mereka sampai di dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua minggu di pedalaman. Dari penjelajahan ini, mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas kehidupan masyarakat Batak. Pada tahun 1834, kegiatan ini diikuti oleh Henry Lyman dan Samuel Munson dari Dewan Komisaris Amerika untuk Misi Luar Negeri.
Pada tahun 1850, Dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.
Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Lodewyk Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.
Masyarakat Toba dan Karo menyerap agama Nasrani dengan cepat, dan pada awal abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya. Pada masa ini merupakan periode kebangkitan kolonialisme Hindia Belanda, dimana banyak orang Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi dengan pemerintahan kolonial. Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka,Sisingamangaraja XII wafat.

Gereja HKBP

Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di Balige pada bulan September 1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan pelatihan perawatan kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) didirikan.

Kepercayaan

Sebelum suku Batak menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu:
  • Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
  • Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
  • Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka. Ada juga kepercayaan yang ada di Tarutung tentang ular (ulok) dengan boru Hutabarat, dimana boru Hutabarat tidak boleh dikatakan cantik di Tarutung. Apabila dikatakan cantik maka nyawa wanita tersebut tidak akan lama lagi, menurut kepercayaan orang itu.